Tuesday, May 24, 2005

THE BABY

Stase bagian Anak, tugas di BBRT (bangsal bayi resiko tinggi), melelahkan sekaligus membosankan’ karena waktu habis untuk mem’bagging’ bayi-bayi asfiksia. Hampir 12 jam dalam sehari bila kebetulan jaga. Terkadang terbersit rasa sedih saat mem’bagging’ para bayi itu. Setengah mati kita berusaha meyelamatkan nyawanya, dengan kesadaran penuh bahwa kemungkinan untuk meninggal ataupun terjadinya sekuele yang tidak diharapkan (cerebral palsy, retardasi mental, gangguan motorik, etc) sangatlah besar. Selama stase, koas yang pasiennya mati dikatakan mendapat ’bintang’. Tanda ini tidak menunjukkan prestasi apapun (tentu saja).
Pagi itu hari ketiga stase BBRT ku. Setelah laporan pagi aku turun ke untuk shift baggingku. Beberapa orang wanita tampak bergerombol mengintip jendela yang tertutup tirai dekat pintu masuk. ‘Mbak,’’ panggil mereka. “Apa tirainya selalu ditutup kalo pagi?Kita pada pingin liat bayinya”. Aku tersenyum. “Ini waktu bayi bobo’ Bu, jadi biar tidak mengganggu istirahatnya tirai ditutup. Nanti agak siang atau sore saja kesini lagi, biasanya tirainya sudah dibuka”. Ibu-ibu itu tertawa dan bersahutan bahwa mereka baru saja menjenguk teman di ruang intensif, baru disesar setelah 5 tahun tidak hamil. Mereka senang sekali dan ingin melihat bayi itu. “Ibunya dan bayinya sama-sama hanya boleh dilihat dari jauh ya”. BBRT memang hanya boleh dimasuki oleh ibu sang bayi selain medis dan paramedis. Di dalam ruang kujenguk bayi yang dimaksud. Ananda, sosok kecil dengan iv line di kaki kiri sedang tidur tenang. Sungguh damai.
Seminggu kemudian. Saat jaga malam, selesai menangani pasien campak tiba giliranku bagging di BBRT. Di ruang itu kuhampiri seorang teman jaga yang duduk membagging disamping box. “Jelek, Fi” katanya. Aku melihat ke arah bayi itu. Lho, ini kan Ananda. “Sejak kapan dia harus dibagging?” tanyaku heran. “Sudah 3 hari lho” jawab temanku.
Aku lalu duduk menggantikannya. Kupompa sambil menatap wajah dan dada Ananda yang kuning pucat. Bibirnya kering. Monitor menunjukkan denyut jantung dan frekuensi nafasnya yang tidak stabil tanpa pernafasan bantuan. Kubayangkan tiba-tiba dia bisa bernafas dengan kuat dan sehat. Sejam berlalu. Tiba-tiba monitor menunjukkan apneu. Aku terus memompa. Denyut jantungnya turun dengan cepat. Ada apa ini...batinku panik. “Bu tolong panggilkan residen...bayinya apneu dan bradikardi...” seruku pada perawat yang segera lari ke pesawat telpon. Sebentar kemudian residen datang dan mengambil alih Ananda. Dilakukan pijat jantung tapi denyut jantungnya hanya naik sedikit dan sebentar kemudian menghilang. Seorang residen lain yang lebih senior datang. Diberikan adrenalin sambil tetap diberikan pernafasan buatan. Darah kecoklatan mengalir dari lubang hidung Ananda. Resusitasipun dihentikan. “Pak, kenapa dihentikan...” seruku tertahan sambil melihat ke monitor yang menunjukkan satu dua denyut dalam jangka waktu beberapa detik. “Sudah meninggal Dik” jawab residen itu. Aku tahu denyut di monitor adalah refleks miokard yang tertinggal. Tapi hatiku berharap akan keajaiban. Sungguh naif. Saat infus dan ET dilepas dari tubuh Ananda berbagai perasaan berkecamuk dalam hatiku. Terbayang saat ibu-ibu tetangganya bergerombol di depan jendela. Ananda...5 tahun kau dinanti...dan harus pergi.
Aku tahu dokter tidak boleh terbawa suasana. Kita harus berempati, jangan bersimpati. Sungguh mudah dalam teori. Tapi somehow saat itu aku merasa kosong dan ingin menangis. Menangisi perasaan tidak berdaya dan hanya bisa melihat saat para residen bekerja, karena aku tidak tahu ilmunya.
Esoknya aku ke perpustakaan bagian Anak. HIE. Hemorrhagic Idiopatic Encephalopathy. Kerusakan otak sebagai komplikasi gagal nafas pada bayi. Kutanya chief residen yang kebetulan pembimbingku. Beliau menerangkan HIE dan ketiadaan approach yang bias diambil untuk kasus tersebut.
“Di Indonesia saja atau di negara lain juga sama Bu?” tanyaku.
“Yah, di negara maju kasusnya memang lebih jarang...”
Suara itu bergaung-gaung dalam ruang batinku. Rasa hampa itu datang lagi.
Wajah polos itu tergambar jelas dalam benak. Ananda. Perasaan kehilangan yang tidak kumengerti. Satu bintang kini tersemat padaku.

1 comment:

joenia said...

wah Fi, berat sekali yah jadi dokter itu. Tapi aku yakin..kamu pasti jadi ibu dokter yg hebat:). Sukses yah...