Friday, September 23, 2005

Ling-ling

Tempat praktek pertama, nun jauh di pinggiran Semarang. Bangunan mungil di halaman panti asuhan, langsung terbuka ke jalan raya Semarang-Kendal. Setiap hari terdengar suara mengaji dari panti. Such a marvellous soundtrack :) . Suatu hari, saat aku tiba kulihat mbak perawat sedang memarahi seorang anak kecil di ruang tunggu.

”Tuh bu dokternya sudah datang, awas biar disuntik kamu!” katanya sambil menunjuk kearahku.
Wah, intimidasi yang basi sekali. Ada apa gerangan? Anak kecil kurus itu langsung lari menghilang ke belakang bangunan.
”Itu lho Bu, mainan timbangan. Sudah saya bilangin masih tetep aja”, mbak perawat bersungut-sungut.
”Biarin aja, mbak. Namanya juga anak kecil.”
Aku teringat kebiasaanku waktu kecil selalu menimbang badanku kapan saja dimana saja kutemui timbangan. Padahal membaca angkanya pun aku belum bisa.
Mbak perawat meletakkan segelas teh manis keatas meja.
”Ah, itu anaknya memang nakal, kok Bu. Sering banget dimarahin Ibu panti tapi ya tetep aja bandel.”

Cerita mbak perawat terputus oleh kedatangan pasien. Pekerjaanpun dimulai. Hari itu praktek tidak terlalu ramai. Saat maghrib, selesai sholat aku duduk di ruang praktek membaca buku. Perawat sedang sholat di masjid yang tidak jauh jaraknya. Tiba-tiba seorang anak kecil berdiri di sampingku. Anak yang kurus, kulitnya kecoklatan dengan mata sipit penuh sorot kebandelan anak-anak dan rambut tipis kemerahan. Senyumnya tampak agak ragu.
”Hai,” kubalas senyumnya. ”Kamu lewat mana?”
Dia menunjuk ke pintu belakang yang membuka kearah panti.
”Bu, Bu. Bu dokter sedang apa?” dia mendekatiku dan melihat ke buku yang kubaca.
”Sedang baca buku. Namamu siapa?” Aku menutup buku dan meletakkannya.
”Ling-ling. Bu dokter namanya sapa?”

Wah, ternyata pemberani juga. Kamipun berkenalan. Anak pemberani dan cerdas. Berkali-kali menanyakan banyak hal. Sewaktu mendengar suara mbak Perawat, Ling-ling masuk ke kolong mejaku. Aku tertawa dan menyuruhnya keluar. Bersama perawat kami membuat konsensus bahwa Ling-ling boleh ngobrol denganku di ruang praktek selama tidak ada pasien.

Sejak hari itu Ling-ling selalu menyambutku di tempat praktek. Dia akan duduk sabar di ruang tunggu bila ada pasien. Kebandelannya hanyalah rasa ingin tahu anak-anak dan keberanian yang polos. Dari obrolan kami aku mendapati Ling-ling sudah kelas dua SD tapi belum lancar menulis dan membaca. Sejak itu kegiatan rutin kami adalah mengerjakan PR dan belajar menulis bersama di ruang praktek. Mbak perawat sekarang tidak pernah lagi protes. Sewaktu kutanya mengapa, alasannya adalah karena Ling-ling sudah rajin mandi, jadi tidak bau. Ohlala...

Banyak hal yang kupelajari lewat Ling-ling. Terutama bahwa seorang anak adalah sebuah pribadi tersendiri. Saat melihat Ling-ling frustasi dengan PR matematikanya aku teringat bahwa aku juga merasakan hal yang sama waktu kecil dulu. Ling-ling banyak bercerita tentang apa saja. Kenangannya tentang ibunya, impian-impiannya. Dia ingin mencari bapaknya yang katanya pergi ke Jakarta. Ingin pergi ke rumah neneknya entah dimana, tapi dia pernah kesana ”sewaktu kecil” dan ada sungai di dekat rumah yang banyak ikan kecil-kecilnya. Ling-ling agak pemilih dalam hal makanan. Dia sangat suka gorengan. Cita-citanya adalah bisa makan makanan seperti di tivi. Aku agak tidak paham maksudnya sampai suatu hari dengan semangat ia bercerita bahwa semalam ia mimpi pergi denganku ke McDonalds. Ternyata aku sudah masuk dalam mimpinya ; ).

Suatu hari, ada yang terasa kurang saat aku datang ke tempat praktek. Mbak perawat yang sedang menata depo obat menyambutku. Aku melihat ke penjuru ruangan.
”Ling-ling mana, mbak?”
”Oh, dia sekarang sudah harus ikut madrasah, Bu. Jadi sekarang sudah tidak bisa kesini lagi.”
Biasanya dia akan berlari-lari menyambutku bahkan sebelum motorku berhenti.

Aku melangkah masuk ruang praktek. Saat akan meletakkan tas, mataku tertumbuk pada sesuatu diatas meja. Segenggam melati diatas robekan kecil kertas. Kuambil dan kubaca. Tertulis disitu: ”du du ini bikasi lingling”. Membingungkan, tapi aku mengenali tulisan itu. Setiap kali akan menyampaikan sesuatu Ling-ling terlebih dahulu memanggilku ”Bu,Bu”. Dan masalahnya yang utama dalam menulis adalah membedakan huruf ”b” dan ”d”.

Rasa haru menyergapku. Aku sangat menggemari melati. Setiap kali sebelum pulang aku selalu memetik beberapa bunga melati yang tumbuh di halaman tempat praktek. Ternyata Ling-ling memperhatikan kebiasaanku. Kuraih bingkisan kecil itu dan saat harum melati memenuhi indera, kurasakan indahnya persahabatan yang terjalin diantara kami.

Segala yang terindah di dunia, tak dapat dilihat, tak dapat didengar, tak dapat disentuh. Hanya bisa dirasakan dalam hati.

Wednesday, June 15, 2005

REMPEYEK KACANG

Suatu malam di klinik, menggantikan teman. Aku baru selesai memeriksa anak seorang ibu yang tidak percaya bahwa putrinya yang cantik itu terkena radang tenggorokan, dan tidak ada tanda-tanda yang mengarah ke demam berdarah (saat itu sedang musim). Sang ibu sibuk meyakinkan dokternya (yaitu aku) bahwa anaknya perlu pemeriksaan lab dan dirujuk ke rumah sakit. Sang putri menangis mendengar ide sang mama. Adik si cantik yang ikut serta mentertawakan kakaknya, berlarian di sekeliling kamar, sibuk mengeksplorasi ini itu dan berkali-kali menyela mamanya, merayuku untuk meminjamkan stetoskop. Jadi pingin ketawa :p.
Hiruk pikuk akhirnya reda juga. ”Ffffhhh...” aku menyandar di kursi, lega. Sejak tadi sore hanya sempat break untuk sholat maghrib. Perawat masuk sebentar, mengingatkan sudah jam 10 lebih, waktunya pulang. Aku merunduk membereskan tasku yang ada di dalam biro. Saat mengangkat kepala...duh, kagetnya..!
Seorang nenek berdiri di depanku tersenyum lebar, memamerkan satu dua giginya. Kulitnya hitam kelam, wajah tirus dengan sorot mata bulat yang inosen, sanggul kecil agak berantakan pada rambut yang sudah menipis dan beruban. Nenek itu langsung melepas stagen dan mengendurkan kainnya lalu berbaring telungkup diatas bed. ”Suntik kuat ” katanya sambil menunjuk ke pantat. Agak tidak paham, aku bangkit mendekat. ” Suntik apa Bu?” Senyumnya masih lebar. ”Suntik merah, biar sehat” jawabnya. Oh, aku tahu maksudnya. Kuberikan injeksi neurotrop (yang warnanya merah) 1cc. ”Sampun Bu..” Nenek itu turun dari bed. ”Terima kasih bu dokter. Sudah lama tidak suntik. Badan rasanya tidak karuan, sekarang langsung enak!”. Memakai kembali kainnya, lalu menunjuk ke matanya. ”Mata kabur. Blawur. Pyur-pyuran” katanya. Kuperiksa dengan penlight. Katarak imatur. Baru mau aku jelaskan, nenek itu bangkit,”Terima kasih bu dokter, sudah enakan,”sambil tetap tersenyum lebar,pamit dan keluar. Aku tertegun kagum oleh kecekatannya. Perawat masuk kembali. ”Ini Bu, CM pasien tadi. Sudah langganan kok disini, setiap bulan mesti suntik, katanya biar sehat..” Aku mengisi CM sambil mendengar mbak perawat bercerita bahwa nenek tadi sebatang kara, sehari-hari berjualan daun pisang di pasar bulu. Oleh klinik dibebaskan dari biaya periksa. Syukurlah.
Kuserahkan kembali CM ke mbak perawat dan ia menyodorkan plastik hitam di tangannya. ” Apa ini, mbak?” ”Dari pasien tadi, Bu. Kebiasaan kalo periksa mesti bawa oleh-oleh” “Buat mbak saja”.”Oh, kita semua dapat kok Bu”. Kubuka isinya. Lima buah rempeyek kacang, tebal-tebal dan gosong. “Katanya buatan sendiri, Bu. Diwanti-wanti harus dimakan lho.”
Menuku malam itu berjudul: rempeyek ‘izzah’, digoreng oleh seorang nenek dengan mata katarak, yang kuat keinginannya untuk menjaga kehormatan diri. Subhanallah.
(neurotrop : vitamin B6&B12, katarak imatur: katarak yang belum seluruh lensa mata terkena, penlight: senter kecil)

Monday, June 13, 2005

PINGSAN!

Sungguh rizki yang tiada terkira bagiku (:D) mendapat stase obgyn saat bulan puasa. Lima minggu pertama sebagai junior dimulai setiap jam 7 pagi teng kecuali 2 minggu diantaranya, jam 5 pagi. Tentiran malam jam 19.00 sampai sekitar jam 21.00, tergantung apakah ada persalinan saat tentiran atau tidak. Tidak ada istilah telat. Ritual puasapun berganti. Buka cepat-cepat karena takut ketinggalan tentiran, sahur sekenanya, nafsu makan betul-betul kalah oleh panggilan tidur. Hampir tidak terasa, sampai pada suatu ketika tubuhku akhirnya protes juga …
Hari itu hari yang padat. Jam 5 pagi aku sudah di bangsal, mem-follow-up pasien. Selesai laporan pagi bersama 2 orang teman aku bertugas di poliklinik ginekologi. Seharian kami hilir mudik mengurusi pasien. Seorang residen meminta melakukan pemeriksaan kardiotokografi untuk melihat denyut jantung janin seorang ibu, 45 th, primi secundi, anak terakhir sudah mahasiswa. Aku bersama seorang temanku mendorong brankard ibu tersebut ke ruang KTG. Troli yang berisi alatnya baru dipakai di ruangan lain jadi aku keluar mengambilnya.
Saat kembali temanku tampak sibuk memakai handschoon. “Fi, ada pasien lagi nih..” katanya. Aku diam asyik mempersiapkan alat. “Kerjain sendiri ya,” kata temanku sambil beranjak. Aku mengangguk, dalam pikiranku adalah segera memeriksa ibu ini. Tiba-tiba aku merasa melayang, sepagian sudah aku rasakan tapi kali itu semakin intens.
“San..” panggilku. Temanku menoleh. “Apa? minta ditemani?” candanya. Aduh, kok tiba-tiba semua tampak kuning. “Bukan…”. Sekarang sudah mulai tampak berkas-berkas gelap dalam pandanganku. “Aku mau pingsan…” Temanku tertawa lalu berbalik ke arah pintu. Kutarik jasnya. “San, aku mau pingsan nih” ulangku. “Apa…” suara temanku terdengar sayup. Gubrak! Aku merasa ada orang menangkapku dan suara hiruk pikuk disekelilingku.
Saat membuka mata aku terbaring di salah satu kamar periksa. Wah, malu juga. Residen datang menjenguk. ”Gimana Dik, sudak enak? Sedang sakit ya, apa pulang saja?” Aku menolak. ”Gapapa kok, Pak”. Temanku yang lain melongokkan kepala sambil melambaikan catatan medis di tangannya. ”Paling-paling belum makan nih anak..” katanya. Aku tersenyum. Maklum, kedua temanku bukan muslim. ”Ayo diminum” Air dalam gelas disodorkan. Aku menggeleng. ”Kalian lupa ya, aku kan puasa..” Kuceritakan bahwa kemarin aku hanya sempat buka puasa dengan segelas air mineral dan tadi malam sahur hanya dengan sepotong kecil brownies. Kedua temanku saling ber ’oh’.
Kondisiku sudah agak enakan, pasien masih banyak, jadi akupun bangun. ”Ayo kerja lagi” kataku. ”Bener gapapa?” ”Ok deh..” Kamipun beranjak keluar. Di pintu kami mendengar suara obrolan para bidan ”Di tes hCG tuh Pak...perempuan seumur dia kok, masa pingsan tiba-tiba. Paling-paling amenorrhea tuh. Sudah nikah apa belum itu...jangan-jangan...”
Aku dan kedua temanku saling berpandangan. Kemarin ada pasien, anak kelas 1 SMA, datang dengan perdarahan profus akibat aborsi ilegal. Analogi ?!? Ckckck... Kami bertiga spontan tertawa nyengir. Tertuduh nih yee....
(primi secundi: jarak kehamilan dengan anak sebelumnya lebih dari 3 tahun; tes hCG: tes kehamilan; amenorrhea: terlambat haid selama 3 bulan atau lebih)

Tuesday, May 24, 2005

THE BABY

Stase bagian Anak, tugas di BBRT (bangsal bayi resiko tinggi), melelahkan sekaligus membosankan’ karena waktu habis untuk mem’bagging’ bayi-bayi asfiksia. Hampir 12 jam dalam sehari bila kebetulan jaga. Terkadang terbersit rasa sedih saat mem’bagging’ para bayi itu. Setengah mati kita berusaha meyelamatkan nyawanya, dengan kesadaran penuh bahwa kemungkinan untuk meninggal ataupun terjadinya sekuele yang tidak diharapkan (cerebral palsy, retardasi mental, gangguan motorik, etc) sangatlah besar. Selama stase, koas yang pasiennya mati dikatakan mendapat ’bintang’. Tanda ini tidak menunjukkan prestasi apapun (tentu saja).
Pagi itu hari ketiga stase BBRT ku. Setelah laporan pagi aku turun ke untuk shift baggingku. Beberapa orang wanita tampak bergerombol mengintip jendela yang tertutup tirai dekat pintu masuk. ‘Mbak,’’ panggil mereka. “Apa tirainya selalu ditutup kalo pagi?Kita pada pingin liat bayinya”. Aku tersenyum. “Ini waktu bayi bobo’ Bu, jadi biar tidak mengganggu istirahatnya tirai ditutup. Nanti agak siang atau sore saja kesini lagi, biasanya tirainya sudah dibuka”. Ibu-ibu itu tertawa dan bersahutan bahwa mereka baru saja menjenguk teman di ruang intensif, baru disesar setelah 5 tahun tidak hamil. Mereka senang sekali dan ingin melihat bayi itu. “Ibunya dan bayinya sama-sama hanya boleh dilihat dari jauh ya”. BBRT memang hanya boleh dimasuki oleh ibu sang bayi selain medis dan paramedis. Di dalam ruang kujenguk bayi yang dimaksud. Ananda, sosok kecil dengan iv line di kaki kiri sedang tidur tenang. Sungguh damai.
Seminggu kemudian. Saat jaga malam, selesai menangani pasien campak tiba giliranku bagging di BBRT. Di ruang itu kuhampiri seorang teman jaga yang duduk membagging disamping box. “Jelek, Fi” katanya. Aku melihat ke arah bayi itu. Lho, ini kan Ananda. “Sejak kapan dia harus dibagging?” tanyaku heran. “Sudah 3 hari lho” jawab temanku.
Aku lalu duduk menggantikannya. Kupompa sambil menatap wajah dan dada Ananda yang kuning pucat. Bibirnya kering. Monitor menunjukkan denyut jantung dan frekuensi nafasnya yang tidak stabil tanpa pernafasan bantuan. Kubayangkan tiba-tiba dia bisa bernafas dengan kuat dan sehat. Sejam berlalu. Tiba-tiba monitor menunjukkan apneu. Aku terus memompa. Denyut jantungnya turun dengan cepat. Ada apa ini...batinku panik. “Bu tolong panggilkan residen...bayinya apneu dan bradikardi...” seruku pada perawat yang segera lari ke pesawat telpon. Sebentar kemudian residen datang dan mengambil alih Ananda. Dilakukan pijat jantung tapi denyut jantungnya hanya naik sedikit dan sebentar kemudian menghilang. Seorang residen lain yang lebih senior datang. Diberikan adrenalin sambil tetap diberikan pernafasan buatan. Darah kecoklatan mengalir dari lubang hidung Ananda. Resusitasipun dihentikan. “Pak, kenapa dihentikan...” seruku tertahan sambil melihat ke monitor yang menunjukkan satu dua denyut dalam jangka waktu beberapa detik. “Sudah meninggal Dik” jawab residen itu. Aku tahu denyut di monitor adalah refleks miokard yang tertinggal. Tapi hatiku berharap akan keajaiban. Sungguh naif. Saat infus dan ET dilepas dari tubuh Ananda berbagai perasaan berkecamuk dalam hatiku. Terbayang saat ibu-ibu tetangganya bergerombol di depan jendela. Ananda...5 tahun kau dinanti...dan harus pergi.
Aku tahu dokter tidak boleh terbawa suasana. Kita harus berempati, jangan bersimpati. Sungguh mudah dalam teori. Tapi somehow saat itu aku merasa kosong dan ingin menangis. Menangisi perasaan tidak berdaya dan hanya bisa melihat saat para residen bekerja, karena aku tidak tahu ilmunya.
Esoknya aku ke perpustakaan bagian Anak. HIE. Hemorrhagic Idiopatic Encephalopathy. Kerusakan otak sebagai komplikasi gagal nafas pada bayi. Kutanya chief residen yang kebetulan pembimbingku. Beliau menerangkan HIE dan ketiadaan approach yang bias diambil untuk kasus tersebut.
“Di Indonesia saja atau di negara lain juga sama Bu?” tanyaku.
“Yah, di negara maju kasusnya memang lebih jarang...”
Suara itu bergaung-gaung dalam ruang batinku. Rasa hampa itu datang lagi.
Wajah polos itu tergambar jelas dalam benak. Ananda. Perasaan kehilangan yang tidak kumengerti. Satu bintang kini tersemat padaku.

Thursday, May 19, 2005

FOTO

Suatu malam yang sibuk. Ada demo karyawan sebuah pabrik yang berakhir dengan bentrok. Para korban dibawa ke UGD bedah, rata-rata dengan perdarahan di bagian kepala et causa vulnus laceratum alias luka robek. Pasien lain tetap berdatangan Seorang pasien yang datang setengah jam sebelumnya terdiagnosis dengan hernia incarserata which means operasi cito.
Saat itu aku sedang mencari botol perhidrol (yang beredar tiada henti) untuk mencuci luka pasienku. Tiba-tiba koas junior memanggil, “Mbak, keluarga pasien X nyari dokternya...mau ketemu katanya“. Sambil menenteng botol hitam nan berat itu aku menghampiri seorang wanita muda yang ditunjuk koas junior tadi. “Ada apa, Bu?“ tanyaku. “Ini pak X belum difoto“. “Sudah dibuatkan pengantar tho, Bu? Langsung saja diantar ke radiologi“. Wanita muda cantik itu menggeleng dengan semangat. “Lha itu belum kok, belum dikasih apa-apa...“ dan Mbak tersebut bercerita dengan semangat tentang pak X yang sudah bolak-balik kembali ke UGD tapi tidak ada perubahan. Keluarga pengantar yang berdiri di belakang si Mbak memandang kami. ’’Oh, jadi Bapak sering tidak bisa kencing ya...’’ Aku mengambil CM dari tangan koas junior. Pantes saja, diagnosisnya BPH alias benign prostate hyperplasia. Lalu kujelaskan panjang lebar apa itu BPH dan bahwa pak X tidak perlu foto rontgen sama sekali, juga bapak ini sudah dikateter dan bisa pulang. Wanita muda itu terdiam tidak puas. Lalu keluar ruang. Kuserahkan CM ke junior lalu permisi mengurus pasienku.
Saat hecting kulihat wanita muda itu masuk lagi dan oleh koas junior tadi ditemukan dengan seorang residen yang sedang sibuk dengan pak Polisi untuk urusan visum. Kudengar bagaimana residen itu menjelaskan lagi bahwa bapak X tidak perlu difoto sama sekali. “Pokoknya saya mau difoto...!” sayup kudengar suara wanita tadi bersahutan dengan suara residen penuh penjelasan.
Dan pekerjaan lain memanggil. Tiga jam kemudian suasana UGD mulai tenang, catatan medik yang belum tergarappun rame-rame diselesaikan. Koas junior bercerita bagaimana wanita tadi ngotot minta foto, bahkan setelah dijelaskan oleh residen tentang apa penyakit pak X. Obrolan pun berlanjut tentang tipe pasien yang merasa lebih tahu apa yang harus dikerjakan dokternya dan kami semua tertawa miris penuh keletihan. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku, “Dik...” panggilku. “Apa, Mbak?” junior mengangkat kepalanya dari CM yang ditekuninya. “Mestinya pak X kita foto saja, gapapa...” Junior langsung protes, “Lho, apa indikasinya, Mbak? Kan BPH?Apa hubungannya sama foto rontgen?” “Yaa..indikasinya atas permintaan pasien..” “Emang bisa?” “Bisa...tapi pasiennya kita rujuk dulu ke Duta..”
Adoww. Cubitan mampir ke lenganku. Banyak tipe manusia, termasuk pasien. Senjata kami hanya kepala dingin. Dan sharing, tentu saja...
(Duta= studio foto terkenal di Semarang).