Friday, January 25, 2008

Saiko

Bagaimana menilai airmata yang ditangiskan seorang wanita? Sebuah kelemahan dengan kekuatan tiada tara? Ataukah bahasa yang bermakna sejuta kata? Aku sendiri, tidak pernah bisa memahaminya.

Sampai pada hari itu, seorang pasien dibawa masuk. Airmata mengalir dipipinya. Tanpa kata, tanpa suara. Kami mengangkat tubuhnya, memindahkan ia dari brankard ke meja operasi. Sebuah prosedur standar disini adalah meminta pasien menyebutkan nama dan tindakan yang akan dilakukan, untuk mencegah kekeliruan prosedur. Dengan suara serak ia menjawab sewaktu ditanya namanya. Tetapi hanya gelengan dan anggukan sewaktu kami konfirmasi tindakan yang akan kami kerjakan. Airmatanya membanjir deras.

Aku sungguh tidak mengerti. Siapapun yang dibawa masuk kesini tidaklah dengan suasana hati ceria ataupun berbunga-bunga. Tetapi biasanya airmata telah kering diluar sana, di poliklinik atau diantara keluarga. Lalu biasanya hanya tampak wajah sedih dan sorot mata yang menyuarakan penerimaan dan harapan untuk bisa menyambung sisa hidup yang ada.

Tetapi air mata….? Sederas ini…sepedih ini….? Disini…?

Perawat memberinya tissue. Dokter anestesi memintanya berhitung sambil mengalirkan inhalan ke depan wajahnya. Aku akan memasang lead EKG. Selimut yang sejak tadi menutup tubuhnya disingkap oleh perawat. Aku terkesima. Sekarang aku memahaminya.

Sebelah buah dadanya tiada.

Kutatap wajahnya kini terhalangi berbagai selang, iapun sekarang sudah menjadi lebih tenang. Anestesi menunjukkan kekuatannya. Kulirik data di monitor. Apakah kau percaya, bahwa kata-kata terkadang justru lebih kentara ketika tidak disuarakan? Terlahir 58 tahun yang lalu di sebuah negara yang wanitanya bisa hidup sampai usia 100 tahun, ia layak untuk meneteskan airmata sedalamnya. Ketika dokter memotong bagian tubuhnya itu lima tahun yang lalu, ia juga mengambil sebagian besar keutuhan dirinya sebagai wanita. Betapa ironisnya, tim kami, empat orang di ruangan ini, semuanya wanita. Maafkan kami yang tidak mampu memberimu pilihan, Bu.Sekejap rasa tidak berdaya yang kosong melintasi benakku.


Ahli anestesi memanggil-manggil namanya.

“wakarimasuka?”
“wakarimasuka?”
“Me o agete kudasai”

Kugenggam tangannya, kurasakan gerakan menyambut genggamanku, tapi matanya tetap terpejam.

“Mo owarimashita yo…”

Mata itu tetap terpejam. Dadanya yang kini rata terguncang-guncang. Airmata mengalir deras di pipinya. Tak ada isakan, tak ada tangisan. Bahasa kepedihan yang ketika aku kira memahaminya, sesungguhnya aku tidak tahu apa-apa.


Disini aku berada. Kulepas jari-jemarinya. Aku tidak layak untuk menjadi ada ataupun memberikan mental support untuknya. Aku bukanlah siapa-siapa, aku adalah bagian dari kepedihannya. Kali ini tidak satupun dari tim kami yang memberinya tissue.


Kutatap wajahnya saat mendorong bednya ke recovery room. Dalam lorong-lorong instalasi bedah pertanyaan itu memantul berulang. Padaku, pada dinding stainless steel itu, pada pintu-pintu kaca, pada lemari depo obat, pada kebisuan selepas jam kerja. Sebuah pertanyaan yang sulit dinyatakan.


Apalah yang patut kubanggakan?

Apalah yang layak kukeluhkan?

Apalah daya yang kupunya?

Apalah tahu yang kupunya?


Kutatap bayangku dalam cermin wastafel kamar ganti. Hanya satu hal yang kumengerti: masih banyak yang tidak aku mengerti.

Tokyo, natsu 2007.

1 comment:

Anonymous said...

Assalamu'alaikum...
Makasih ya mbak, udah mampir ke blogku di http://dokternasir.co.cc, semoga silaturahim kita tetep langgeng. Jangan lupa kalo mampir lagi, sisipkan komentar or kritik dan saran. BTW, pa kabar ni di Negeri Sakura?